
Sebelum Ayah bercerita soal investasi dan masa depan, Ayah ingin bercerita tentang masa lalu.
Pada zaman dahulu…
Ayah lahir di kota S. Sebuah kabupaten di dekat ibu kota Provinsi Jawa Timur. Sekitar tahun 70-an. Dari keluarga yang biasa-biasa, cenderung sederhana. Kakekmu seorang pedagang di pasar. Berjualan kerupuk udang. Mengambil udang dari sekitar tambak.
Di kota S memang banyak tambak udang. Bahkan udang telah menjadi maskot dari kota S sendiri. Konon, kota S terbangun dari delta. Endapan sedimen laut yang lama-lama menggunung menjadi daratan. Tapi anehnya, kota S memiliki cadangan gas.
Sempat ada kasus kebocoran gas yang menciptakan lautan lumpur di tahun 2000-an.
Di tepi kota S yang berbatasan langsung dengan samudra, terbentang luas hamparan tambak udang dari selatan ke utara. Luasnya tambak ini mencakup ribuan hektar, membentang hingga terlihat sebagai sebuah lautan yang tenang, terpisah hanya oleh tanggul-tanggul tanah yang dipenuhi oleh semak-semak hijau yang rimbun.
Saat matahari mulai terbit di ufuk timur, sinarnya yang hangat menyinari permukaan air tambak, menciptakan permainan cahaya yang indah di atas permukaan yang tenang.
Seperti mengajarkan: jiwa itu harus seperti air. Damai dan tenang.
Setiap pagi, kakek akan mengolah udang menjadi bahan makanan siap goreng. Biasanya Nenekmu yang akan membantu berjualan. Melakukan pengantaran ke para distributor. Dropshipping bahasa kerennya.
Proses pembuatan kerupuk sendiri seperti ini. Pertama-tama, udang dipilih secara cermat dan dicuci bersih sebelum dijemur di bawah sinar matahari terik. Proses ini membutuhkan kesabaran dan ketelitian agar udang bisa kering dengan sempurna, sehingga menghasilkan tekstur yang renyah saat digoreng nantinya.
Setelah itu, udang yang telah kering akan dihaluskan menjadi bubuk halus yang kemudian dicampur dengan bahan-bahan lain seperti tepung tapioka dan bumbu-bumbu tradisional.
Kemudian, campuran tersebut dibentuk menjadi adonan yang tipis dan dipotong-potong sesuai ukuran yang diinginkan sebelum akhirnya digoreng hingga keemasan. Proses ini memerlukan keuletan dan ketelitian agar kerupuk udang memiliki bentuk dan tekstur yang sempurna.
Proses pembuatan kerupuk udang terkesan sederhana tetapi membutuhkan waktu dan usaha yang cukup lama. Mulai dari pengeringan udang hingga proses penggorengan, setiap langkah membutuhkan perhatian dan ketelitian yang tinggi.
Dengan demikian, kerupuk udang bukan hanya sekadar camilan yang lezat, tetapi juga menjadi simbol dari nilai-nilai kehidupan yang berharga. Ia mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang sabar, tekun, dan pantang menyerah dalam menghadapi segala rintangan, serta menghargai proses dan hasil dari setiap usaha yang kita lakukan.
Proses pengolahan dilakukan di dapur, atau orang dahulu menyebutnya pawon. Mungkin kamu masih ingat, saat kita berkunjung ke rumah kakek. Rumah dengan hanya 2 kamar yang disekat. Dulu belum pakai keramik. Hanya disemen biasa.
Di halaman belakang rumah Kakekmu, tegak kokoh di tengah halaman yang luas, berdiri rumpunan pohon pisang. Pisang jenis apa ya? Ayah lupa. Jika tidak salah pisang susu. Pisang dengan buah berukuran relatif pendek, berisi, dan punya rasa yang cukup manis.
Ah, Ayah suka sekali bermain di sekitar pohon ini. Rumpunan yang panjang umur. Setiap ada yang mati, pasti ada pohon baru yang menggantikan lagi. Filosofi hidup dari pohon pisang mengajarkan tentang siklus kehidupan dan ketekunan.
Seperti pisang yang tumbuh dari pohonnya, kita pun harus belajar untuk tumbuh dan berkembang dalam berbagai situasi. Meskipun kadang-kadang angin badai datang menerpa dan cabang-cabangnya ditekuk, namun pohon pisang tetap kokoh berdiri, menunjukkan ketahanan dan kekuatan yang luar biasa.
Mohon maaf jika Ayah terlalu berfilosofi. Tanda jika Ayah tak muda lagi.
Di pinggiran lingkungan tempat tinggal Ayah, dulu ada sebuah langgar (surau) tua. Entah kenapa orang Jawa Timur menyebutnya Langgar. Sholat koq di Langgar? Sedangkan Masjid raya ada di depan jalan besar. Karena agak jauh, Aya malas kesana dan memilih ngaji di Langgar. Dulu Ayah suka mengaji bersama Cak Toha. Belajar alif ba ta. Bangunannya belum sebagus sekarang. Hanya beratap seng. Tetapi sudah menggunakan rangka kayu.
Namun, masjid ini bukan hanya tempat ibadah semata. Banyak kegiatan masyarakat yang berlangsung disana. Pada sore hari, anak-anak muda berkumpul untuk belajar agama dan membaca Al-Quran. Jika ada yang meninggal, akan disholatkan di langgar. Jika ada syukuran, akan dilakukan di langgar. Pokoknya Langgar adalah tempat komunal bersama.
Di lingkungan ini Ayah menghabiskan sekolah dasar, SMP, hingga SMA. Sebelum Ayah bisa kuliah di Gadjah Mada. Mungkin kamu penasaran, darimana kekayaan Ayah? Apakah dari kerajaan penjualan kerupuk? Tentu tidak.
Nanti akan Ayah ceritakan bagaimana sejarahnya.
Yang jelas Ayah menjalani masa kecil yang bahagia, meski tidak kaya raya.
Ayah menceritakan hal ini agar kamu sadar: tidak dibutuhkan harta banyak untuk bisa bahagia.
Leave a Reply